Headlines
Loading...


Catatan Ananta

Founder TiMS/InfoTerbit Grup


BANYAK cara yang dilakukan oleh seorang guru untuk mengajarkan kecerdasan kepada murid-muridnya.


Ada guru yang mengasah kecerdasan muridnya dengan cara memberinya teori, lalu disuruh praktik.


Tapi ada pula guru yang punya pola menyodorkan sebuah masalah, lalu meminta muridnya itu memecahkannya dengan caranya sendiri.


Lalu, ada guru yang mengasah kecerdasan murid-muridnya dengan cara berkompetisi. Yakni, memberikan sebuah masalah dan membiarkan murid-muridnya itu berkompetisi satu sama lain. 


Sehingga yang terlihat dalam sebuah "wadah perguruan" itu, seolah antar murid-muridnya terlihat dalam sebuah lomba, saling adu kepiawaian, adu strategi, bahkan mungkin hingga "berpolemik" dan "berkonflik" demi sang murid berhasil menyelesaikan persoalan yang ditugaskan gurunya itu.


Tapi, tujuan dari sebuah kompetisi yang diciptakan sang guru itu cuma satu; ingin murid-muridnya itu cerdas, terlatih mengatasi masalah, selalu berfikir dan tidak kosong.


Sang guru tentu tak ingin murid-muridnya terlibat dalam konflik yang sebenarnya. Polemik yang diciptakan itu bagian dari sebuah pelajaran. Agar terlatih pikirannya untuk menghadapi berbagai persoalan.


Sayangnya, sebagian dari murid terkadang tak menyadarinya. Menganggap bahwa kompetisi satu murid dengan murid lainnya yang digelar gurunya itu sebagai upaya memecah belah.


Menganggap bahwa konflik dan polemik yang dimunculkan itu bagian dari kebencian kepada sang murid untuk menenggelamkannya.


Pelajaran dari sang guru yang seperti ini memang penuh resiko. Tak lazim. Tak biasanya. Bahkan, bisa jadi meruntuhkan tatanan yang sudah ada. Sebab, hasilnya cuma dua; kalau berhasil, sang murid akan berhasil betul. Tapi kalau gagal, maka akan hancur.


Maka, pelajaran dari guru yang berpola seperti ini, konsekuensinya memang tak pernah memperhitungkan kuantitas alias jumlah murid, tapi kualitas. Sebab, muridnya pun akan patah tumbuh hilang berganti.


Hilang satu, lahir satu. Lahir satu, hilang satu. Selalu begitu.


Kenapa sebab?

Kompetisi yang diciptakan sang guru itu biasanya memang cukup keras untuk ukuran seorang murid. Hanya mental-mental yang kuat saja yang bisa bertahan. Hanya orang-orang yang punya tekad ingin cerdas saja yang akan tetap setia bersama gurunya.


Selebihnya, mereka akan berguguran. Tidak kuat, lalu mencari guru lain. Atau bahkan, ada pula murid yang mundur itu justru nekat mendirikan sebuah "perguruan" sendiri dan dia menjadi gurunya.


Karena dia merasa sudah punya pengalaman mental saat menimba ilmu pada mantan gurunya terdahulu, meski sedikit. Meski, belum seluruh pelajaran terserap dengan baik.


Lalu apa makna dari cerita ini? Cuma dua; hidup itu pilihan dan hidup itu selalu punya resiko.


Maka pilihan hidup dan resiko itu tetap ada pada diri masing-masing. 


Yang membedakan barangkali adalah proses perjalanannya. Ada yang memilih jalan cepat dengan segala benturannya. Ada yang berjalan lambat karena menghindari benturan-benturan itu.


Yang pasti, cepat atau lambat, perjalanan tak boleh berhenti. Harus diteruskan.


Engkau tinggal pilih;


Menjadi murid dengan guru yang mengajarkan teori dan praktik ala kadarnya?


Menjadi murid dengan guru yang tanpa mengajar teori, tanpa praktik tapi langsung berkompetisi?


Atau.. barangkali ingin langsung menjadi guru meski dengan sedikit pengalaman yang pernah didapat dari sang guru?


Sekali lagi, semua pilihan dan segala resikonya kembali kepada diri masing-masing. 


Yang paling penting, pilihlah guru yang kelak menjadikanmu guru juga. Guru yang hebat akan mencetak muridnya menjadi guru yang hebat pula!


Catatan Ananta, Kamis 21 Juli 2022

0 Comments: