(Catatan Ananta) Elegi Olla, Sebuah Kisah Nyata Wanita Single Parent
Foto ilustrasi/net
Catatan Ananta
Founder Terbit Media Sindikasi (TiMS)/InfoTerbit Grup
"SAYA bingung. Darimana harus mengawali cerita hidup saya."
Begitulah kata Olla kepada saya.
Cerita hidupnya terlalu kompleks, barangkali. Di usianya yang baru 21 tahun, dia harus menyudahi pernikahannya. Kini, dia hanya tinggal berdua dengan anak semata wayangnya, Nay. Usianya baru 11 bulan.
"Wanita mana yang mau perkawinannya hancur? Tak akan ada, begitu juga saya. Tapi saya harus memutuskan menyudahi ikatan rumah tangga ini," katanya.
Penyebab semua itu adalah KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Selama satu tahun setengah hidup berumah tangga dengan papanya Nay, nyaris tak pernah luput dari kekerasan.
Kekerasan verbal, juga fisik.
Di usia pernikahan yang baru 4 bulan, suaminya sudah berani 'main tangan'
"Sebagai istri, saya mulai nggak dihargai sama sekali. Dikasari, diselingkuhi, disakiti."
Tapi Olla berusaha sabar. Apalagi, saat itu sedang mengandung Nay.
Lalu saat usia pernikahan memasuki 9 bulan, biduk rumah tangga makin tak menentu. Hanya gara-gara hal sepele, seringkali jadi pemicu pertengkaran.
"Kekerasan fisik terus saya dapatkan. Rambut saya dijambak, dilempar pakai sepatu."
Suatu malam, Olla dan suami kembali bertengkar. Posisinya jam 12 malam. Suami Olla memutuskan akan pulang ke rumah orang tuanya. Olla berusaha menahan. Bahkan memohon, biar dia tidak meninggalkannya.
Tapi permohonan Olla itu malah disambut dengan tonjokan ke hidung Olla sampe keluar darah berceceran dimana-mana.
"Posisi nggak ada orang sama sekali. Sakit saya. Hati, juga fisik. Tapi waktu itu, masih saya sabar-sabarin. Karena saya masih menaruh harapan. Siapa tau suatu saat sikapnya itu akan berubah," kata Olla kepada saya.
Maka saat itu, tak pernah terlintas sedikit pun dalam pikiran; ingin meninggalkan atau ditinggalkan.
Bagi Olla, jika sepasang manusia telah bertemu, lalu mengikat janji, harapan terbesar adalah dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, tanpa harus berpisah, kecuali maut yang memisahkan.
Tapi terkadang, tak selamanya harapan berbanding lurus dengan kenyataan. Dan, itulah yang juga dialami Olla.
***
Sikap kasar itu terus terjadi. Lahirnya sang buah hati, Nay, tak membuat sikap suami Olla berubah. Bahkan kian jadi.
"Puncaknya, terjadi ribut besar di rumah mertua Olla, hanya karena masalah sepele. Saya dianiaya habis-habisan. Dipukuli, ditendang hingga leher saya dicekik," kata Olla kepada saya.
Bayangkan, dalam usia pernikahan yang baru masuk satu tahun lebih, baru saja punya anak, tapi Olla harus mendapat perlakuan sejahat itu dari suaminya.
Wanita muda itu ada di persimpangan. Antara menyudahi perkawinan atau mempertahankan.
Dia dalam kebimbangan saat itu. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Tak pernah sama sekali dia membayangkan bahwa sebuah mahligai suci yang dibangun dengan susah payah harus berakhir begitu saja.
Dia teringat masa-masa awal saat hendak menikah dulu. Olla dan suami begitu bersemangat mengumpulkan uang dari hasil kerja untuk persiapan resepsi.
Tapi, setelah pesta digelar, justru sang suami berprilaku kasar hingga membuatnya harus berfikir ulang tentang pernikahan ini.
"Saya yakin, tidak ada satupun diantara kita ini yang menginginkan perceraian. Tapi saya harus mempertimbangan itu. Harus siap jika kondisi terburuk harus terjadi dalam perjalanan hidup saya," Olla.
Dan, keputusan pun diambil. Bagi Olla, bercerai adalah jalan terbaik. Daripada melanjutkan tapi tak sejalan. Tak hanya hati yang sakit, fisik pun seringkali jadi sasaran. Di usia pernikahannya yang memasuki satu setengah tahun, Olla dan suami resmi bercerai.
"Saya harus jujur, perpisahan ini sangat menyakitkan!" ujar Olla.
Harus diakui, perasaan seseorang yang mengalami perceraian pasti akan hancur lebur, remuk dan entah apa lagi...
Tapi, Olla harus kuat. Ada Nay, putrinya yang kini berusia 11 tahun yang butuh perhatian dan perlindungannya. Nay tentu tak ingin melihat mamanya rapuh.
Maka, dalam segala keterbatasan yang ada, sebisa mungkin Olla berusaha tegar.
"Sebagai manusia biasa, kadang saya juga down. Patah semangat. Tapi saya akhirnya ingat, ini bagian dari taqdir Allah yang harus saya jalani," ungkapnya.
Dia percaya, setiap manusia membawa kisahnya masing-masing dan setiap masalah selalu ada jalan keluarnya. Maka, tak ada jalan lain kecuali memasrahkan semua cobaan ini kepada Allah Swt.
Catatan Ananta, Jumat, 3 April 2020
0 Comments: