(OPINI) Meminimalisir Praktik Pernikahan Usia Dini
Oleh: Chania R. Santoso
DALAM kehidupan keluarga, orang tua punya peranan yang sangat penting dan sentral. Bagaimana pun, anak memang lahir dari rahim orang tuanya. Meskipun kelak anak mengenyam pendidikan, peranan orang tua tidak bisa digantikan. Bahkan sampai kelak anak beranjak remaja dan dewasa.
Maka kita tidak pernah ya mendengar istilah mantan anak. Semua anak adalah anak dari orang tuanya sampai kapan pun. Baik-buruknya anak akan sangat bergantung pada baik-buruknya orang tua.
Atas pemahaman ini, saya jadi miris manakala dalam kehidupan sosial kita masih saja terjadi kasus nikah anak. Menikahkan anak di bawah umur, di bawah usia 19 tahun sebagaimana tertera dalam aturan yang telah ditetapkan Pemerintah.
Pembatasan usia nikah ini semata-mata karena anak punya hak untuk menikmati masanya untuk bisa fokus belajar dan bermain, menikmati masa anak-anak tanpa beban. Sebagai orang tua yang baik tentu akan memberikan pendidikan dan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya.
Sejurus dengan itu, belakangan ini kembali menggema kampanye stop nikah anak. Kampanyenya bagus, hanya saja masih saja sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kampanye yang cenderung formalitas, orientasinya selalu terhadap Pemerintah.
Padahal kampanye stop nikah anak yang akan sangat membekas adalah mulai dari kesadaran diri. Minimal dari lingkungan terdekat keluarga dan Desa. Lebih dari itu juga sering terjadi bahwa kampanye stop nikah muda masih jauh dari konkret dan bermanfaat. Kampanye yang masih sebatas diskusi, seminar, demonstrasi dan debat-kusir yang ujungnya menuntut Pemerintah.
Saya merasa bahwa sudah saatnya kampanye stop nikah anak ini harus ditempuh dengan berbagai pendekatan dan cara. Tidak melulu hanya dengan kata-kata, jargon atau slogan, tetapi mampu segera menyelesaikan masalah di akar rumput.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa kampanye stop nikah anak secara verbal tidak penting. Saya hanya hendak mengajak bahwa cara pandang dan cara penanganan bahaya nikah anak harus multi cara.
Jika selama ini fokus kampanye hanya sebatas diskusi, seminar dan kegiatan sejenisnya, sudah saatnya semua pihak bisa memberdayakan masyarakat lebih komprehensif dan konkret.
Semua pihak sama-sama turun ke bawah, bukan hanya untuk sekadar pendataan dan riset, melainkan pemberdayaan yang berkesinambungan.
Anggaran demi anggaran yang besar dari Pemerintah maupun LSM harus digunakan secara efektif. Bagaimana kemudian Kantor Urusan Agama (KUA) tidak hanya fokus pada pencatatan administrasi nikah, melainkan setiap hari turun ke bawah, mengecek, mengedukasi, memberi bantuan dan lain sebagainya kepada masyarakat.
Jadi keberadaan KUA di sini lebih dinamis. Bahkan mestinya KUA juga melakukan pemberdayaan umat, bagaimana Masjid setiap Desa se-Kecamatan bisa produktif, KUA juga memperlopori gerakan wakaf dan lain sebagainya. Sebab namanya juga KUA (Kantor Urusan Agama) bukan hanya KUN (Kantor Urusan Nikah).
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga demikian harus turun ke bawah bersama para relawan, ke pelosok-pelosok negeri yang selama ini angka praktik nikah anaknya masih tinggi. Sehingga antara data, realita dan upaya penanganan ini seirama, target capaiannya jelas, jangan sampai hanya sekadar formalitas.
LSM harus juga turut membuka akses kesehatan, pendidikan, ekonomi dll yang terjangkau bagi masyarakat. Bagaimana para anak perempuan di pelosok-pelosok daerah itu bisa dijamin gizi makan dan minumnya, kesehatannya, pendidikan dan lainnya.
Bagaimana para anak perempuan bisa hidup mandiri sebagaimana selama ini dilakukan oleh laki-laki. Misalnya Pemerintah, LSM dan semua pihak melakukan pendampingan wirausaha UMKM, mendirikan Pusat Kegiatan Masyarakat, dan masih banyak lagi.
Tanpa upaya-upaya konkret dan memberdayakan seperti yang sudah saya jelaskan barusan, angka praktik nikah akan semakin tinggi. Oleh karena kepada para pemangku kebijakan dan pihak-pihak yang ahli dalam persoalan ini, saya memohon agar upaya penanganan nikah anak ini tidak setengah-setengah atau malah asyik sendiri, ribut sendiri tanpa efektivitas yang jelas.
Yang juga tidak kalah penting adalah bahwa kita harus mampu mendorong diri kita sendiri untuk menjadi solusi dari setiap masalah. Misalnya ada kasus praktik nikah anak di sekitar rumah tempat kita tinggal, maka kita harus mau melawan praktik nikah anak tersebut, jangan malah acuh dan pura-pura tidak tahu.
Sesibuk apa pun kita, kalau ada masalah praktik nikah anak di Desa misalnya, segera terjun, telusuri dan konfirmasi ke Pemdes, KUA, pihak keluarga berikut upaya-upaya advokasi lainnya. Hanya dengan begitu, praktik nikah anak akan turun secara signifikan. (*)
0 Comments: