Headlines
Loading...


Oleh: Dr. Usmar, SE., MM.

Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional


SETELAH dilantiknya anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada hari Senin, tgl 28 Mei 1945, pukul 15.35 Wib, dengan anggota sebanyak  62 orang. Kemudian dilanjutkan dengan menetapkan dr. Radjiman Wediodiningrat sebagai Ketua, di dampingi dua orang Wakil Ketua, yaitu R.P.Suroso dan Ichibangase.


Selanjutnya panitia BPUPK memutuskan bahwa sidang pertama BPUPK, akan dilangsungkan dari tgl 29 Mei s/d 1 Juni 1945.


Adapun agenda terpenting dalam sidang pertama itu adalah mencari jawaban atas pertanyaan Ketua Panitia dr.Radjiman Wediodiningrat, “Negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk itu, apa dasarnya?”


Dalam sidang pertama ini, yang berlangsung sejak tgl 29 Mei-1Juni 1945, tercatat ada 46 orang pembicara yang menyampaikan pemikirannya.


Namun dari para tokoh yang berbicara itu, belum ada yang menyampaikan sebagai jawaban yang pas atas pertanyaan Ketua Panitia BPUPK tersebut.

 

Barulah ketika Bung Karno, mendapat giliran untuk berbicara, pada hari terakhir sidang, yaitu hari Jumat, tgl 1 Juni 1945, pukul 11.00 Wib, selama sekitar satu jam, memberikan uraian secara lengkap yang berisi tentang Lima Sila,  tentang dasar negara, untuk menjawab pertanyaan Ketua Panitia BPUPK tersebut.


Seperti kita ketahui, Bung Karno membuka pidatonya dengan mengatakan bahwa “Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya”.


“Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini”.


Pidato Bung Karno yang disampaikan secara lisan tersebut, dicatat oleh Notulen dengan menggunakan tulisan Stenografi sistem karundeng. 


Selanjutnya sebelum sidang pertama ini berakhir dibentuklah panitia kecil untuk merumuskan kembali PANCASILA sebagai dasar negara, berdasarkan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945.


Perkembangan Rumusan Pancasila

Dalam Pidato Bung Karno tgl 1 Juni 1945 itu, rumusan dan urutannya adalah: 1)  Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Maha Esa.


Dari rumusan tersebut, bahwa terlihat Pancasila terdiri atas dua lapisan fundamen, yaitu; pertama; Fundaemen Politik; kedua; Fundamen Moral (etik Agama).


Dan baru pada perkembangan berikutnya, oleh panitia kecil yang dibentuk berdasarkan amanat saat hari terakhir BPUPK, mengubah dengan meletakkan fundamen Moral di atas fundamen politik, maka susunannya pun berubah, menjadi seperti Pancasila saat ini, yaitu :


1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; 5) Keadilan Sosial bagi selururh rakyat Indonesia.


Dinamika Dialektis Hari Lahir Pancasila

Di era pemerintah orde baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila pada tahun 1970.


Kemudian polemik makin menajam, dan makin menjauh dari riilnya jalan sejarah kelahiran Pancasila, ketika tahun 1981 Prof. Dr. Nugroho Notosusanto melakukan rekayasa Politik melalui bukunya “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” yang menggunakan dan menganggap tafsir Pancasila Versi Muh. Yamin sebagai satu-satunya sumber yang sah.


Meski tidak menggunakan metodelogi penggalian sejarah sebagaimna mestinya, terutama dalam tahap “Heuristik” (mencari sumber), Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa penggali Pancasila itu ada tiga orang, yaitu: Moh. Yamin, Supomo, dan Soekarno.


Dan sebagai ilmuwan yang juga politikus, untuk mengamankan pendapat kelirunya ini,  Prof.Dr.Nugroho Notosusanto memberikan embel-embel yang seakan bijak terhadap pendapatnya tersebut dengan mengatakan bahwa “Seorang sejarawan yang baik, tidak akan malu mundur, kalau kemudian ditemukan bahan bukti yang lebih kuat dari yang dimilikinya”.


Tentu saja keputusan sesat ini, ditentang oleh pelaku sejarah dan saksi sejarah, seperti Bung Hatta, Prof. AG. Pringgodigdo SH, Prof. Soebarjo SH, AA. Maramis.SH, dan Prof. Soenarjo SH, Sejarawan A.B Kusuma, dan A. Dahlan Ranuwihardja, SH.


Upaya Mencari Kebenaran Sejarah

Ketika Prof. Dr. Nugroho Notosusanto berkesimpulan, dengan menggunakan buku Moh. Yamin sebagai sumber primer, yang sebenarnya Moh. Yamin meminjam arsip BPUPK dari Mr. AG. Pringgodigdo yang kemudian dinyatakan hilang, mendapat protes keras dari para ahli sejarah.


Padahal tahun 1983 dalam Disertasinya J.C.T. Simorangkir. SH, menyatakan bahwa ada arsip BPUPK di Alglemeen Rijks Archief, Nederland.


Selanjutnya dalam upaya mencari kebenaran sejarah tersebut, lalu pada tahun 1991 Sejarawan A.B. Kusuma, berangkat ke Nederland dan Amerika Serikat untuk mencari arsip BPUPK tersebut.


Waktu di Nederland, A.B.Kusuma mendapat keterangan bahwa, arsip BPUPK dengan kode “Pringgodigdo Archief”, telah dikembalikan ke Indonesia.


Untuk memastikan ini, Sejarawan A.B. Kusuma menanyakan ke Arsip Nasional, ternyata pernyataan itu benar, bahkan dengan keterangan tambahan, bahwa “Koleksi Yamin”, yakni arsip BPUPK yang dipinjam oleh Moh. Yamin dari Mr. A.G. Pringgodigdo dan dinyatakan hilang, secara tidak sengaja ditemukan kembali di Pura Mangkunegara, Surakarta, oleh seorang petugas Arsip Nasional yang diminta bantuannya untuk membereskan manuskrip Prof.Mr. Moh.Yamin yang dibawa oleh menantunya G.R.A. Satuti ke Pura Mangkunegaran.


Hanya saja memang sampai dengan tahun 1993, baik Arsip Pringgodigdo dan Koleksi Yamin yang disimpan di Arsip Nasional belum boleh di buka untuk Umum, sehingga menyebabkan tidak ada buku yang menggunakan sumber tersebut dalam penulisannya, hingga tahun tersebut.


Saksi Sejarah Dari Pelaku Sejarah

Jika kita cermati secara teliti dan melihat pernyataan dari beberapa saksi sejarah dan juga pelaku sejarah, maka kini kebenaran itu terungkap sudah.


Pertama, dalam seminar Angkatan Darat tahun 1966, yang dikenal dengan sebutan “Catur Dharma Eka Karma” yang dihadiri oleh 124 Perwira dalam rangka menggodok strategi pertahanan, dalam diktum pendahuluannya dinyatakan bahwa lahirnya Pancasila adalah 1 Juni 1945.


Kedua, Keputusan MPRS No.XX tahun 1966, menyebut bahwa “Penyusuanan pembukaan UUD 1945, sesungguhnya dilandasi oleh Jiwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi pula oleh Jiwa Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945”.


Ketiga, kita dapat melihat ketika Soeharto, pada tgl 1 Juni 1967, dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Presiden, memberikan sambutan mengenai hari Lahinya Pancasila mengatakan “.......Marilah kita, pada hari Lahirnya Pancasila ini, sekali lagi dan untuk kesekian kalinya mawas diri sejujur-jujurnya apakah sikap dan perbuatan kita telah sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.....”.


Dari kutipan ucapan Pak Soeharto di atas, jelas tersurat dan tersirat, bahwa beliau mengakui hari lahir Pancasila itu tanggal 1 Juni 1945.


Keempat, adalah upaya yang dilakukan oleh Panitia Lima, sebagai pemungkas upaya mencari kebenaran sejarah lahirnya Pancasila.


Adapun Panitia Lima tersebut, adalah saksi sejarah yang juga pelaku sejarah, yaitu: 1) Dr. Mohammad Hatta; 2) Mr.Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo; 3) Prof.Mr.Sunario; 4) Prof.Mr.A.G.Pringgodigdo, dan 5) Mr. A.A. Maramis. 


Panitia Lima tersebut, telah menyusun buku "Naskah Asli Uraian Pancasila”, pada tanggal 18 Februari 1975.


Kemudian melalui delegasi Dewan Harian Nasional Angkatan 45, yang dipimpin oleh Jenderal Surono, pada tgl 23 Juni 1975 menyerahkan Naskah tersebut kepada Presiden Soeharto.


Dengan berbagai uraian di atas jelas tak terbantahkan, bahwa hari lahir Pancasila adalah berangkat dari Pidato Bung Karno di depan Sidang BPUPK tgl 1 Juni 1945.


Kelima, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, yang disampaikan Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, di Gedung Merdeka, Bandung, Selasa 1 Juni 2016, menetapkan bahwa Tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.


Karena itu sekarang hanya ada Tafsir tunggal tentang hari lahirnya Pancasila adalah 1 Juni 1945. (*)



0 Comments: